Wisuda yang Tertunda
Jumat kemarin, tanggal 15 Februari 2008, sekitar 20 orang mahasiswa dari program reguler, ekstensi, maupun diploma mengikuti prosesi yudisium. Acara ini ditandai dengan pemberian ucapan selamat dari pihak jurusan yang diwakili Bapak Aunur R Mulyarto serta Ibu Sri Maryani selaku pihak yang mewakili program diploma. Selain itu, juga dibacakan nama lengkap, tempat/tanggal lahir, IPK, judul skripsi, serta nama dosen pembimbing dan kategori kelulusan. Acara berlangsung cukup santai dan gayeng. Terlebih, di penghujung acara, para lulusan diberikan kesempatan untuk memberikan kesan sekaligus saran terkait evaluasi ke depan yang akan dilakukan pihak jurusan Teknologi Industri Pertanian. Beberapa hal yang disinggung, seperti pembentukan Alumni Center yang diharapkan mampu mewadahi para alumni untuk saling bertukar pikiran dan berkontribusi positif terhadap jurusan. Juga ada saran tentang penyelenggaraan stula, PKL, serta pembimbingan skripsi yang terstandarisasi. Just like a usual...
Seusai mengikuti yudisium, anak-anak segera melebarkan sayap. Maksudnya, mendaftar wisuda. Sayang sekali, dokumenku masih kurang lengkap. Maka, aku segera pergi ke tempat fotocopy. Di sana, sudah ada Indah dan Trias yang juga tak kalah semangat. Dalam hati, aku tersenyum. Kondisi yang selalu mendadak, disadari tepat sebelum semuanya deadline. Tak jauh bedanya dengan siswa yang baru mempersiapkan diri dengan belajar padahal setengah jam kemudian ada ulangan. Kenapa sih nabyak-nabyak (apa sih bahasa Indonesianya yang asyik?) selalu ada di setiap tempat dan waktu? Benarkah habit ini susah sekali hilang? Sebenarnya ini kembali lagi ke diri masing-masing anak. Segala sesuatu yang bisa dipersiapkan dengan matang akan mempermudah segalanya. Tapi, kerapkali jadi slogan kosong. Ketika ada kejadian, selalu kembali lagi.
Kelar fotocopy dan menempelkan foto, kami segera kabur ke Bagian Keuangan untuk membayar wisuda sebesar Rp 495.000,-. Besar sekali ya? Sebenarnya untuk apa pula biaya sebesar itu? Sayang, tidak ada rinciannya sama sekali. Aku juga hendak menanyakan hal ini. Pasalnya, di Fakultas Pertanian, biayanya tidak sebesar itu. Sekitar Rp 350.000,- saja. Nah, perbedaan yang cukup signifikan ini menggelitikku dengan pelbagai pertanyaan yang belum tuntas sepenuhnya. Jadi, kepingin menyelidiki nih...Ketika hendak membayar biaya legalisasi ijazah, kami diminta sebesar Rp 15.000,- serta menunjukkan memo dari Bu Tukinah, staf Akademik dari Fakultas. Hah, memo? “Apakah tidak bisa tanpa adanya memo?” tanyaku yang kemudian dijawab dengan sebuah gelengan. Nah, ini yang menyulitkan. Bu Tukinah saat itu sedang melayani mahasiswa yang registrasi di lantai tiga. Apa kami harus menunggu beliau untuk mendapatkan sebuah memo saja? Jelasnya, iya, dengan huruf kapital.
Maka, dengan lunglai kami segera ke lantai atas. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 lebih. Di ruangan registrasi, sudah tampak wajah teman-teman kami yang bernasib serupa. Antara lain, Anggun, Mey, Trias, Pras, Berizka, Ubed, Lilis, dan aku sendiri. Yang lainnya, tidak ada yang tahu. Masalahnya, antrian mahasiswa yang registrasi masih cukup panjang. Kami harus bersabar, meski juga gregetan dengan dada was-was dan harap-harap cemas. Apakah bisa? Itu yang menjadi inti pertanyaan dalam hati kami semua. Sementara itu, aku sempat mendengar curhat Mayang yang harus membayar Rp 600.000,- sebagai biaya registrasi padahal dia tinggal ujian skripsi. Aku berusaha menenangkan dirinya, padahal dalam hatiku tak kalah deg-degan. Dia lalu – seperti biasanya – tersenyum tipis seolah menegaskan bahwa dia akan selalu baik-baik saja. Namun, matanya tetap tidak bisa dibohongi. Sedangkan, Adi, salah satu temanku yang paling unik dan baru saja registrasi, haha...sori Adi, selalu menyemangatiku. Loh, kok terbalik? Hehe, harusnya aku yang menyemangati dia. Tapi, entahlah. Pertemuan kami selalu diwarnai dengan pertengkaran penuh canda dan ucapan selamatnya yang terkadang membuatku jengkel, “Kapan wisuda?” Lalu kujawab pasti, doakan secepatnya ya Adi. Kamu cepetan nyusul...
Pertanyaan itu yang kemudian menghantuiku lagi. Di satu sisi, Mey yang duduk di sebelahku tak henti bercerita tentang kepasrahan. Halah, kami lalu mengobrol bersama mengenang ketika kami yang menurut rencana bisa yudisium bulan Januari lalu, harus tertunda satu bulan gara-gara dosen. Aku tentu saja tak hendak menyalahkan karena toh segalanya telah berlalu. Aku hanya bisa introspeksi, ini mungkin salahku juga. Tapi, rasanya tidak adil sekali, jika oleh karena hal itu, membuatku tidak bisa cepat-cepat segera ikut wisuda. Sedangkan, Mey terkendala oleh jilidan skripsinya yang tak bisa tepat waktu. Yang membuatku tersenyum penuh ironi adalah Lilis. Kami bertiga memang hampir ikut yang bulan Januari. Tapi, kondisi Lilis cukup fatal. Nilai TOEFL-nya yang berkutat pada 447 – dia dua kali ikut dan dapat nilai sama persis – membuat kami menyindir, dia sudah mendapatkan angka keberuntungannya. Yang kutimpali, “Tapi kenapa ya angka itu disusun 447, bukannya 474?” Kami tertawa bersama. Akhirnya, dia dapat juga nilai yang diinginkan, lebih dari 450. Kembali pada Mey lagi. Aku lalu berusaha menghiburnya. “Setidaknya kita sudah berusaha semaksimal mungkin. Jika ternyata tidak bisa, berarti kita memang masih belum beruntung.” Mey menukas, “Tapi kenapa selalu terjadi? Mulai dari yudisium kemarin..” Aku menggelengkan bahu. Entahlah, kawan. Aku juga tidak tahu. Rencana Allah kerapkali datang tanpa kita duga sebelumnya. Mungkin saja ini termasuk dalam rencana-Nya.
Waktu semakin mepet. Sebentar lagi istirahat Sholat Jumat. Antrian menipis pasti. Aku segera menyerobot satu anak cewek yang masih mengantri. Sebelumnya, dia memang mempersilakanku untuk duluan. Kami lalu berbarengan menyatakan maksud kami untuk mendapatkan memo tersebut. Bu Tukinah segera memberikan secarik kertas kosong yang telah diisi dengan tanggal dan parafnya. Masing-masing anak memperoleh satu untuk diisi dengan nama sekaligus NIM. Dengan cepat, kami menuju Bagian Keuangan yang ternyata sudah tutup. Terang saja, sudah waktu istirahat kok. Aku lalu pulang buat jum’atan di Al Istiqomah, dekat kos. Usai sholat, sempat kuambil foto 3x4 dan 4x6 berwarna di tempat affdruk. Aku lalu segera ke Bagian Keuangan buat membayar. Di sana sudah ada, Indah dan Nurila. Menyusul kemudian, Anggun dan Berizka.
Setelah itu, kami menunggu Bu Tukinah lagi untuk menyerahkan nota. Ketika beliau muncul, dengan ringan dikatakannya, “Nanti ya..Jam setengah empat. Habis registrasi.” Aku kaget. Harus menunggu selama itu? Tapi, aku tidak bisa memaksa. Dia memang harus bertugas. Yang kusesalkan adalah mengapa dalam kondisi seperti ini tidak ada orang yang bisa mewakili Bu Tukinah menjalankan tugasnya? Or she’s the only one people who can handle it...? Aku tidak percaya itu. Sempat kusampaikan pada Berizka. Lalu, aku bermaksud menuju Bagian Kemahasiswaan Fakultas yang sudah dipindah di gedung Politeknik. Ruangan di sana tampak lengang dan kosong. Ada beberapa kardus bertumpuk. Serta sebuah meja dan beberapa perkakas. Seorang pria – maaf, aku tidak tahu namanya – berpakaian motif garis hijau menyampaikan padaku bahwa pegawai Kemahasiswaan sudah pada pulang. Dia lalu menuntunku menuju ruangan tersebut. Pintu terkunci. Di luar ada sebuah papan bertulis agenda kegiatan yang disandarkan pada sebuah lemari. Aku heran. “Padahal baru jam segini lho, Pak? Kok sudah pulang semuanya ya?” Ia menggeleng. “Kami mau daftar wisuda sekarang, Pak. Jika tidak, kami tidak bisa ikut bulan Maret ini,” kataku. Dia sekali lagi menggeleng dan menyarankanku untuk datang besok lagi. “Bapak, besok kan Sabtu...” ucapku menyadarkannya. “O ya, berarti Senin saja,” katanya ringan. Aku tersenyum kecut. Apa masih ada harapan? Aku kemudian pamit. Saat itu, handphoneku berbunyi. Ada telepon dari HRD tabloid Bintang Indonesia (baca juga : Undangan Interview, Psikotest, dan Sepotong Kenangan). Aku ingat, juga ada jadwal psikotest Pukul 14.00, siang itu.
Selanjutnya, aku kirim sms dengan Berizka maupun Mey untuk mendaftarkanku sekalian pada Bu Tukinah. Karena aku tidak bisa terus stand by di tempat menunggu beliau. Lalu, aku mengikuti psikotest yang selesai pada Pukul 17.00. Di sela-sela mengerjakan soal, aku sempat berkirim sms dengan Mey tentang hasilnya. Selama psikotest, handphoneku memang kumatikan. Sehingga aku baru membaca sms masuk usai psikotest, dalam perjalanan menuju Humas. Isinya, mengabarkanku bahwa tidak ada anak yang bisa wisuda bulan Maret. Mas Eko Fakultas bilang pada kami bahwa kuota telah mencukupi. Aku lemas. Terlebih sedetik kemudian ayahku menelepon menanyakan prosesi yudisium dan psikotest. Tak lupa, “Kapan wisudanya?” Hm, sebuah pertanyaan yang entah mengapa membuatku jadi paranoid. Intinya, aku tak tega dengan orang tuaku yang mengharapkanku segera wisuda. Duh, maafkan aku ayah dan ibu. Hingga detik ini aku belum berani jujur sama mereka. Rencananya, besok Senin aku mau mengecek lagi ke fakultas. Setelah benar-benar habis kuota, aku baru menelepon orang tua. Semoga mereka mampu mengerti dan memahamiku sepenuhnya. Dan, semoga juga, wisuda bisa diadakan lagi besok bulan April, harapku dalam hati.
Regards,
Abhiem






Currently have 0 komentar: