Undangan Interview, Psikotest, dan Sepotong Kenangan
Hari Senin kemarin, awal pekan ini, aku mendapat telepon dari Bu Agnes, pihak HRD dari tabloid Bintang Indonesia. Ia memintaku untuk datang pada sesi interview pada hari Jumat, 15 Februari 2008 di jalan Prof Dr Satrio Kavling 3-5 depan ITC Kuningan, Jakarta. Saat itu, aku hanya berusaha menyanggupinya tanpa tahu apakah aku benar-benar bisa atau tidak. Yang jelas, memang tidak bisa sebab pada hari yang sama aku harus menjalani prosesi yudisium. Sebelum dia menutup telepon, ditegaskannya bahwa aku harus datang. Dia lalu memberikan nomor teleponnya, 021-525xxxx. Sekali lagi, kubilang akan kuusahakan.
Dan begitulah, hari Jumat kulalui dengan penuh ketegangan untuk segera mendaftar wisuda bersama kawan-kawan yang lain. Usai membereskan beberapa dokumen yang masih membutuhkan tanda tangan, aku berupaya untuk menemui Bagian Kemahasiswaan Fakultas. Ternyata sudah tutup. Padahal saat itu masih sekitar pukul 13.35 siang. Aku langsung shock. Bagaimana bisa para pegawai sudah tidak ada di tempat ketika masih dibutuhkan oleh mahasiswa? Aku benar-benar tak habis pikir. Ketika itu juga aku mendapat telepon dari Bu Agnes lagi. Dia meminta kejelasan posisiku dimana. Tentu saja, aku bilang dengan sepenuh hati bahwa aku tidak bisa datang interview karena harus yudisium. Padahal, malam harinya aku memperoleh sms dari PT Santos Jaya Abadi agar mengikuti psikotest di gedung Fakultas Ekonomi Unibraw, hari Jumat juga, pukul 14.00 WIB.
Jauh di lubuk hatiku, sebenarnya aku ingin sekali datang di tabloid Bintang Indonesia. Aku ingat benar pada posisi sebagai reporter film. Dulu, aku apply ke perusahaan tersebut dengan mengirimkan beberapa tulisan resensi film yang kukumpulkan melalui tulisanku di Friendster dan lainnya. Lucunya, sewaktu ibuku menelepon tentang hal ini, beliau menggoda diriku, “Reporter film? Wah, banyak ketemu artis ya..” Aku hanya tersenyum, yang jelas sekali beliau tidak tahu. Dalam hatiku, reporter film kan tidak selalu bertemu artis, paling-paling menulis resensi filmnya doank. Finally, aku segera cabut untuk menjalani psikotest. Sesampai di sana, ruangan sudah penuh. Sekitar seratus orang telah memadati ruangan tersebut. Baik pria maupun wanita berpakaian formal. Aku sendiri sebenarnya mengenakan hem lengan panjang, tapi dengan cuek jaket tetap kupakai.
Soal psikotest kali ini terbanyak dari soal yang pernah kuhadapi dimanapun. Pertama kali, kami diminta untuk mengisi semacam formulir yang berisi kolom tentang biodata diri, posisi kerja yang dimasuki, alasan apply, gaji yang diinginkan, pengalaman interview, pengalaman organisasi, penyakit yang pernah diderita, hingga kesukaan membaca dan jenis bacaan yang diminati. Dua kolom terakhir ini sesuai benar dengan hobiku. Aku jadi semangat. Tiba-tiba ingatanku melayang pada pertanyaan ketika aku di-interview di PT Sinarmas. Kemudian, kita diberikan satu bundel soal dan selembar kertas jawaban. Dengan dipandu pihak HRD, kita diminta untuk sesegera mungkin menjawab pertanyaan berupa pilihan ganda.
Kalau saya tidak salah, kumpulan soal pertama tentang pertanyaan biasa. Kumpulan soal kedua tentang pencarian sinonim. Soal ketiga, terkait dengan persamaan sifat dan makna. Soal keempat, tentang logika matematika alias deret. Soal keempat, tentang pengambilan makna secara general, contoh, pertanyaan : mawar-melati, dijawab : bunga. Soal kelima, pencocokan gambar. Soal keenam, perhitungan matematika. Soal ketujuh, apa ya? Maaf yang ini lupa banget. Soal kedelapan, penyesuaian bentuk balok dengan pelbagai bentuk sisi. Soal kesembilan, tentang penyesuaian bentuk bangun datar. Seluruh kumpulan soal ini dikerjakan tidak kurang dari lima menit dimana masing-masing ada dua puluh soal.
Selanjutnya, diberikan tiga buah kertas lagi. Yang ini tentang Wartegg Test alias menggambar pada delapan kotak yang telah berisi garis tipis, lengkung, bulat, dan sebagainya. Sama dengan tes yang lainnya. Kertas kosong satunya, diminta untuk menggambar bentuk pohon. Hanya ada syaratnya, pohon tidak boleh pisang, kelapa, bentuk perdu, bunga, rumput, jagung, beringin dan lain sebagainya. Ketat sekali syaratnya. Aku akhirnya memilih bentuk pohon mangga. Yang terakhir, seperti biasa diminta menggambar orang seutuhnya, diberi nama, profesi, jenis kegiatan, serta usia. Ah, seperti biasa aku menggambar sesuai dengan apa yang ada di kepalaku, sebuah profesi impian. Tepatnya, rahasia dong...Haha.
Sekitar pukul 5 sore, semuanya sudah usai. Kulihat sekeliling ruangan, hanya ada aku, seorang pria di sebelahku, Vicky, temanku dari Fakultas Pertanian, serta dua orang cewek yang masih sibuk mengisi biodata diri. Dari sekian banyak, tinggal kami berlima? Tadi, aku memang datang telat sekali. Masa yang lainnya juga? Tapi, segera kupercepat dan kuserahkan lembaran jawaban beserta biodata pada pihak HRD. Sebelumnya, mereka sudah menerangkan, bagi yang lolos psikotest ini akan dihubungi secepatnya untuk menjalani sesi interview. Jika memungkinkan ada yang dipanggil untuk interview di kampus ini juga. Jika tidak, akan dipanggil ke kantornya, di Surabaya. Apakah aku berharap? Jujur, bahkan aku lupa posisi apa yang ku-apply. Gila bener, beberapa teman yang kuajak mengobrol juga mengeluhkan hal serupa. Ternyata aku tidak sendirian. Perlu diketahui perusahaan ini merupakan salah satu cabang dari Kapal Api Group yang bergerak pada industri consumer goods. Mulai dari kopi, susu creamer, dan lain-lain. Salah satu perusahaannya bertempat di Surabaya.
Ah, kota Pahlawan itu menyisakan beberapa kenangan dan pengalaman dramatis. Terakhir kali aku singgah ke sana, ketika mengikuti pelatihan jurnalistik akhir bulan Maret tahun 2007 silam di Universitas Airlangga. Sempat menginap di teras rumah sakit Dr Soetomo karena tidak mendapatkan tumpangan. Tapi besoknya, sempat keliling kota diantar panitia. Terima kasih buat Aam dan kawan-kawan. Toh, perjalanan ini juga tidak sia-sia. Beberapa hari lalu, mereka juga mengirimkan undangan untuk mengikuti pelatihan jurnalistik lagi. Bedanya, kali ini para peserta disediakan akomodasi dan transportasi oleh panitia. Wah, sudah bukan waktunya lagi nie untuk mengikuti acara seperti itu. Walaupun Pak Farid Atmadiwirya, kepala Humas menawariku. Tapi aku harus mengalahkan egoku agar memberikannya pada anak-anak yang lain. Mereka juga butuh pengalaman dan kesempatan. Sudah bukan saatnya maruk. Haha, istilah yang terkadang membuatku risih. Tipis bedanya dengan ambisi. Maruk itu merugikan orang lain, ambisi itu tidak. Bagaimanapun, kenangan di Surabaya itu membangkitkan kesadaran bahwa panitia harus selalu berusaha melayani peserta sebagai tamu undangan sebaik-baiknya, meskipun dalam kondisi apapun.
Hal yang juga aku alami ketika mengikuti pelatihan serupa di Universitas Udayana, Bali. Bertemu dengan orang-orang ramah dan menyenangkan. Seperti Naning, Pam-Pam, Fajar, Burhan, Agus, Yogi, dan buanyak lagi lainnya. Yang paling terkesan dengan pengorbanan panitia adalah ketika Agus yang jelas-jelas lagi sakit demam dengan penuh semangat masih bersedia mengantarkan salah satu peserta untuk pergi ke tempat yang diinginkan, semisal beli pulsa atau ke toko. Dadaku berdesir mengingat keteguhannya sigap melayani para tamu walau berada pada titik lemah. Aku sendiri pun bila dalam posisi seperti dia, belum tentu bisa melakukan hal serupa. Salut dan angkat topi buat dirinya. Oya, ini kok jadi melantur kemana-mana ya? Seringkali memang jika bercerita, suka sekali aku mengkait-kaitkan dengan pengalaman yang kuperoleh sebelumnya. Bukan untuk menyombong, tapi sebagai sarana membangkitkan semangat dan menegur diriku sendiri yang kerap lalai dengan waktu yang sudah banyak terbuang percuma.
Lalu, kaitannya dengan undangan interview dan psikotest? Aha, sebenarnya ilmu melayani dalam hal kepanitiaan juga bisa diterapkan ketika kita masuk ke dunia industri. Seperti ungkapan Bunda Theresa, hidup itu sebuah pelayanan. Bagaimana kita berusaha semaksimal mungkin untuk bekerja demi kemajuan perusahaan. Sebenarnya naif juga, hanya saja kondisi seperti ini memang tidak bisa berjalan simultan. Perlu sebuah proses panjang hingga dicapai suatu titik kesadaran. Duh, memang selalu mudah bicara teori dan rencana, aplikasinya belum tentu. Makanya, sampai kini aku tetap salut dengan orang-orang yang diberikan kebesaran jiwa melalui sikap pelayanan, tanpa pretensi apapun, bertindak seiring jiwa dan raganya secara holistik. Mungkin, berbeda dengan pendapatnya teman-teman yang lain. However, buat Agus Udayana, salut sama kamu bro...
Regards,
Abhiem






Currently have 0 komentar: