::Sorry Under Construction..We'll be back to you Soon ::
ADVerTisement Available (Contact : andik.kurniawan@ymail.com)
Latest News

Sekadar Sharing

Jumat, Februari 08, 2008 , Posted by Ikatan Alumni TIP 2003 at 13.11

Sudah lama rasanya saya tidak bercerita tentang pekerjaan. Maklum, selama ini masih berkutat dengan gawean yang berputar dari itu-itu saja, but I still enyoyed it...Sekarang, saya mau bercerita atau tepatnya sharing tentang pengalaman saya tentang pekerjaan yang ‘sesungguhnya’. Maksudnya?




Pekerjaan yang didapat oleh sebagian besar lulusan sarjana di Indonesia ini dengan melalui proses yang tidak mudah, mulai dari psikotest, interview, dan tes-tes lain yang ribet dan melelahkan. Dan setelah masuk kerja, bakalan menjalani rutinitas yang menjemukan terkungkung di antara berlembar-lembar kertas nan bertumpuk atau di antara barang laboratorium yang berbau menyengat itu atau harus pontang-panting kala berhadapan dengan tugas yang menuntut sebuah pertanggungjawaban, deadline! Kata mati yang membuat seorang pekerja harus mengorbankan pikiran, waktu, dan tenaganya setengah mati untuk memenuhi hal tersebut. Ya, bukan maksud saya menceritakan hal yang buruk dan mengerikan. Tapi, bukankah hal tersebut mau tidak mau akan selalu kita hadapi ketika bekerja apapun?

Saya salah satunya menjadi ‘korban’ dari kondisi yang menuntut konsekuensi dari sebuah prosesi pendidikan yang telah ditempuh selama ini. Singkatnya, kuliah memang ditujukan nantinya agar bisa bekerja, mengaplikasikan ilmu yang telah didapat. Namun, alangkah ironisnya ketika mendapati mayoritas sarjana yang bekerja saat ini tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang telah ditempuh. Sarjana teknik yang bekerja di bank, sarjana pertanian yang bekerja sebagai teknisi, ataupun sarjana ekonomi yang bekerja di bidang komunikasi. Banyak sekali kasus. Bukan salah sarjananya, sama sekali bukan. Sebab memang ketika lapangan pekerjaan menjadi sempit, kompetisi pun akan semakin ketat sehingga bidang yang awalnya tidak dikuasai pun mau tidak mau harus dipelajari dan didalami.

Saya sendiri, seorang sarjana lulusan teknologi pertanian, minat sekali dalam bidang jurnalistik dan selama ini memang berkutat dalam hal tersebut. Tapi, saya juga tidak tahu apakah nanti beneran bakal terjun di bidang tersebut, ataukah malah ‘menyasar’ di bidang perbankan, misalnya atau di bidang komunikasi, sebagai presenter di layar kaca atau malah jadi ‘artisnya’, haha.. (yang ini sih bercanda). Atau malah di bidang pertanian murni, I mean..di lahannya bukan di industrinya, seperti merawat tanaman, melakukan pemupukan yang efektif, mencegah hama penyakit meruak, dan lain sebagainya. Nah, yang terakhir ini hendak saya ceritakan terkait dengan pengalaman saya beberapa waktu lalu.

Hari Senin, tanggal 4 Februari 2008, kemarin saya bersama dengan tiga orang teman-teman se-jurusan dan se-angkatan, Bambang, Fikri, dan Fauzan mengikuti tes psikologi alias psikotest yang diselenggarakan oleh PT Sinarmas Agribisnis and Food. Awalnya, bingung sekali dapat sms-nya kok dari PT Smart, padahal sama sekali tidak mengirim lamaran ke sana. Bahkan, Fikri yang lusa sebelumnya sempat mengikuti psikotest juga di Gresik (saya lupa nama PT-nya) sampai menelepon saya. Terus terang, saya tidak tahu, namun setelah mengecek internet, teranglah sudah bahwa PT Smart termasuk dalam Sinarmas Group yang konon Presiden Direkturnya menduduki peringkat ketiga terkaya di Indonesia. Wilayah bisnisnya terentang mulai dari consumer goods, seperti minyak goreng dan margarin, juga bidang properti dan telekomunikasi.

Sebelum psikotest, diterangkan terlebih dahulu profil sekilas PT Smart dan prosesi yang akan dilalui jika lulus seleksi. Perlu diketahui, kami melamar untuk posisi Agronomic Asssitent, pengawas pekerja di perkebunan kelapa sawit, di luar Pulau Jawa. Sebelum bekerja, calon ditraining terlebih dahulu selama 6 bulan, dan tidak terkait langsung dengan pekerjaan di lahan. Jadi mendapatkan bekal secara teoretis doank plus uang saku. Selanjutnya, mulai bekerja, namun tiga bulan pertama dalam taraf percobaan, namun sudah mulai mendapatkan gaji plus pelbagai fasilitas. Jika mau fasilitas rumah, harus menikah dulu. Selama training maupun menjalani masa percobaan hingga bekerja minimal 2 tahun, tidak boleh sekalipun cuti. Jika melanggar, akan dikenakan penalti, Rp 5 juta yang melanggar ketika masa training, dan Rp 25 juta jika melanggar pas bekerja. Denda harus dibayar lunas sebab ijazah asli akan ditahan oleh perusahaan. Terbayang ribetnya? Terlebih, posisi seperti itu sama sekali bukan jurusan kita banget.... Pernah, ada kejadian dua orang pekerja dikeluarkan karena melakukan tindakan indisipliner dan diterima bekerja CPNS. Tapi, entahlah sebanyak 16 orang dari pelbagai fakultas yang hadir di ruangan (di Guest House) itu mungkin punya motivasi tersendiri dalam melamar pekerjaan ini.

Pukul 13.00 siang lebih sekian menit, psikotest dimulai dan pihak PT Smart yang diwakili Grace membagikan soal. Jenisnya macam-macam, namun semuanya pilihan ganda. Mulai dari bentuk artikel, mencocokkan gambar berpola, aritmatika, hingga menggambar pada kertas yang sudah terisi titik atau garis lengkung atau garis mendatar. Yang terakhir, melukis satu sosok badan utuh manusia selengkapnya. Tes-tes seperti ini sebenarnya standar, sudah biasa dikeluarkan oleh pihak manapun. Namun, yang kemudian menjadi tidak standar adalah ketika Grace memberitahukan hasilnya akan diketahui dalam 15 menit setelahnya. Dan, percaya atau tidak, kami semuanya lulus tanpa perlu mengerti hasil yang diraih. Lo? Kemudian kami menjadi curiga dengan proses yang diberlakukan. Jangan-jangan, PT Smart memang ingin mengambil tenaga kerja sebanyak-banyaknya, dan psikotest hanya sekadar formalitas belaka. Sudahlah, toh apa salahnya jika diambil kesempatan ini, meski transparansi tidak ada.

Kami diminta untuk mengisi tiga lembar formulir pendaftaran kesediaan untuk bekerja di PT Smart sebelum mengikuti interview yang dilaksanakan besok harinya. Selain biodata pribadi, juga ada pertanyaan seperti alasan melamar di perusahaan, posisi yang diambil, gaji yang diinginkan, lokasi yang diharapkan, penyakit yang diderita, dan sebagainya. Grace wanti-wanti agar kami segera pulang dan mempelajari materi yang berhubungan dengan agronomi sebab siapa tahu waktu interview, pertanyaan seperti itu akan muncul. Dan, akulah yang kemudian bingung. Meskipun tidak terlalu minat pada posisi Agronomic Assistant, namun setidaknya aku perlu belajar agar tidak terlampau memalukan. Yang ada di kepalaku adalah bagaimana mengoptimalkan diri sendiri, dengan menjual kemampuan sebab pada dasarnya hal terpenting sewaktu interview adalah bagaimana kita berhasil menarik minat customer (dalam hal ini perusahaan) sehingga akan meng-hire kita sebagai pegawainya. At least, para interviewer akan menganggap calon-calon dari Universitas Brawijaya perlu dipertimbangkan kapabilitasnya. Jadi kita akan punya daya tawar tersendiri.

Malamnya, aku ke rumah salah seorang teman Fakultas Pertanian yang sempat mengikuti praktikum Ilmu Tanah. Sempat berbincang seru, pulang ke kos aku malah hanya sempat membaca tanpa menghafal secara total. Plus, satu artikel dari Kompas tentang perkebunan kelapa sawit. Kupikir, biarlah yang penting sudah usaha. Toh, juga tidak akan malu-maluin banget. Paginya, kami, antar pelamar sempat bertukar pikiran membahas bagaimana nantinya. Pelamar yang sudah interview menceritakan pengalamannya sedikit kepada kami. Aku lalu berusaha mempelajarinya dalam hati.

Tibalah kemudian giliranku. Masuk ke ruangan, ada tiga interviewer di belakang meja, salah satunya Grace. Ia memintaku untuk menceritakan how about me, its everything that relation with me. Tentu saja, aku bercerita cukup lancar karena pertanyaan seperti ini sudah terlampau sering kudengar. Dia lalu bertanya tentang kegiatanku sehari-hari, selain berkuliah, serta sedikit aktivitas jurnalistik. Selanjutnya, giliran bapak yang duduknya di tengah. Orangnya separuh baya, tidak tampak tua, namun matanya terlampau menukik, memandangku tajam seolah aku santapannya. Dia bertanya tentang kesesuaian jurusanku dengan posisi yang akan aku ambil. Kujawab sebisanya, bahwa aku akan selalu belajar mengenai agronomi dan yang berhubungan dengan per-kelapa sawit-an. Lalu dia memberondongku dengan pertanyaan tentang keilmuan, apa itu unsur hara? Apa itu unsur hara makro, unsur hara mikro? Apa yang terjadi jika daun warnanya kuning? Kenapa sebabnya? Unsur hara apa yang menyebabkannya? Lalu, aku diminta untuk menuliskan rumus Phytaghoras, keliling lingkaran, luas lingkaran, hingga volume bola, di sebuah papan yang telah disediakan. Agak heran juga, untung semuanya cukup lancar kujawab.

Terakhir, dengan bapak yang dilihat dari penampilannya, pasti lebih tua dari kedua orang disebelahnya. Ditandai dengan rambut putih dan senyum agak kalem, cenderung sinis, namun pandangan matanya menyelidik. Dia bertanya tentang minatku yakni membaca. Ia tahu dari CV yang kutulis. Tentu saja aku mengiyakan dengan sepenuh hati. “Apa yang suka Anda baca?” tanyanya. Kujawab, prioritas pertama bacaan sastra, kedua, bacaan yang sesuai dengan disiplin ilmu, ketiga, tentang jurnalistik. Dia lalu mengejarku, “Kenapa Anda suka bacaan sastra?” Kujawab, sebab memberikan banyak refleksi kehidupan dan pesan positif yang bisa diambil. Lagi-lagi dia menguntitku, “Apa bacaan sastra yang terakhir kali Anda baca?” Aku menjawab otomatis, “Edensor”. Ketika disuruh menceritakan, aku langsung panjang lebar bercerita lancar. Pasalnya, aku baru saja selesai baca sehari sebelumnya dan novel itu langsung jadi favoritku. Novel ketiga dari tetralogi-nya Andrea Hirata, Laskar Pelangi, yang diambil dari perjalanan hidupnya. Berkisah tentang bagaimana dua anak manusia tetap menjaga mimpinya untuk selalu belajar, bersekolah di luar negeri, S2 di Universitas Sorbonne, Prancis. Sungguh perjuangan yang manis dan benar-benar so inspired... Kata-katanya bernas, dengan diksi menawan yang terjalin sistematis dan diberikan sentuhan emosional, menjadikannya salah satu novel amazing yang terpilih dalam nominasi Khatulistiwa Literary Award tahun ini.

Sori, jadi kebablasan. Interviewer tua itu agak terperangah mendengarku bercerita detail. Ia lalu mengalihkanku pada novel yang lain. “Anda sudah baca Geisha?” Aku mengangguk, Memoar of Geisha, novel terjemahan lawas yang juga sangat cantik. Sudah difilmkan dengan bintang Ziyi Zhang dan Gong Li. “Menurut orang-orang, novel itu jelek, karena mengajarkan orang untuk jadi pelacur. Bagaimana pendapat Anda?” Tentu saja aku bilang tidak setuju. Banyak hal positif yang bisa diambil, salah satunya ketika Ziyi Zhang kecil yang pada awalnya jelek dan kumal berusaha sepenuh tenaga berlatih keras sehingga menjadi salah satu geisha terpandang yang namanya tetap berkumandang hingga kini. Meskipun jalan yang ditempuhnya sangat terjal, hingga dijahati berkali-kali oleh geisha yang tinggal serumah dengan dirinya. A great story...Konon, novel terjemahan Listiana ini jauh lebih indah bahasa Indonesianya daripada yang aslinya. Saya belum tahu sebab tidak pernah baca aslinya. Namun, saya tidak memungkiri keindahan bahasa novel Geisha tersebut. Interviewer tua itu kemudian mengangguk-angguk dan menyatakan cukup atas semua pertanyaan yang telah diberikan. Saya dipersilakan dengan hormat untuk meninggalkan ruangan dan akan diberitahu hasilnya sekitar seminggu kemudian dari hari tersebut.

Sebelumnya, saya juga sudah berbicang dengan Bambang perihal interview ini. Ia mengaku, sama sekali tidak menyukai posisi Agronomic Assistant. Kedatangan dia kali ini hanya untuk memperoleh pengalaman, bagaimana sih rasanya diinterview. Terus terang saya lebih respek dengan jawaban yang dia berikan, daripada jawaban salah satu temanku, anak Fakultas Pertanian yang mengaku tidak respek, namun tidak datang interview. Alasannya, daripada diterima lebih baik mundur dari awal. Lo? Bagaimana dia tahu diterima atau tidak, tanpa melalui interview? Saya menyesalkan tindakannya, tetapi prinsip orang memang berbeda-beda, dan saya sendiri juga belum tahu apakah diambil atau tidak jika nantinya diterima.

Tiba-tiba ingat, pagi harinya, saya sempat ditelepon ibu. “Bagaimana nanti interview-nya? Posisi apa? Perusahaan apa? Dimana nanti jika ditempatkan?” Kujawab, “Asisten agronomi, pengawas perkebunan. Di Sinarmas, saya ambilnya di daerah Riau jika ditempatkan.” Beliau lalu setengah berteriak, “Loh, kok jauh sekali? Ambilnya kok di sana sih?” Aku terdiam sesaat. “Ya, mau ambil dimana lagi, Bu. Kan adanya di luar Pulau Jawa.” Saya hendak meneruskan, kalau di Pulau Jawa kan bukan perkebunan kelapa, tapi perkebunan teh, atau kopi. Namun hanya terlontar dalam hati. “Ya sudah, sukses yah nanti...dijalani saja dulu.” Saya mengiyakan, dan langsung jadi pengobat sebelum menjalani interview yang telah diceritakan sebelumnya. Memang, cari pekerjaan sekarang susah-susah gampang. Banyak-an susahnya, daripada mudahnya. Bahkan, hal yang sama sekali tidak kita minati, harus susah payah didalami demi sebuah pekerjaan. Apapun rela dilakoni. Saya hanya pasrah. Jika nanti diterima toh masih harus banyak berkonsultasi dengan orang tua, sahabat-sahabat saya, teman-teman yang kuliah di Agronomi, serta pihak-pihak terkait. Dan, ternyata jika tidak diterima, saya sudah mempersiapkan dengan hal yang lebih baik lagi, karena toh bukan rezeki saya di situ. Perusahaan lainnya bisa jadi jauh lebih sesuai dengan karakter dan kepribadian saya. Yang penting saya tidak menjalaninya dengan setengah hati, apalagi tanpa prinsip. Pengalaman saya tentang interview ini setidaknya membuka cakrawala pikiran saya tentang dunia kerja yang sesungguhnya, sebuah proses yang musti dilalui sebelum memperoleh posisi yang diinginkan. Bagaimana kita meraih sesuatu melalui perjuangan dan mimpi-mimpi yang terpendam. “Kita harus memiliki mimpi-mimpi, sebab Tuhan akan memeluk mimpi itu dan akan terwujud kelak suatu hari nanti, “ kata Arai, tokoh dalam novel Edensor yang kuidolakan.

Oleh : Bhima Priantoro


Currently have 1 komentar:

  1. Andik :
    ckckck..
    cukup mengharukan postingan bima kali ini..
    meskipun gak ditulis di postingan kali ini tapi aku bisa ikut ngerasain gmana kejamnya dunia kerja.
    oya aku juga bisa merasaan feeling2 yang bima alamin ajibbbbbbbbbbbb
    heheheheheh

Leave a Reply

Posting Komentar